Pada saat itu, khususnya penyuka musik hardcore teman sekomunitas lain, mereka juga ter-influence akan politik, sejarah dan agama, diskusi komplek tentang sosialis komunis mulai diangkat, termasuk di dalamnya dicampur isu politik mulai dari tema-tentang rasisme, fasisme sampai bahasan para filusuf. Selagi hang out, biasanya tema nya pun makin meluas termasuk obrolan sejarah musik para penyanyi legendaris, atau cerita tentang pahlawan sampai mafia kelas kakap.
Tak sampai disitu tentunya, diskusi merambat ke teori konspirasi plus cerita tentang kaum kapitalis pemilik fast food dan kedai kopi ternama di dunia.
Lalu, terlepas dari bahasan diatas. Cerita kegemaran saya pada Rage against the machine, dan masa lalu saya bersama komunitas, justru mengantarkan saya mengunjungi Saigon alias Ho chi min city pada akhir 2010. Setelah meng explore kota dan mengunjungi beberapa area menarik di negara komunis ini, saya juga mengunjungi war museum, dan disanalah saya melihat gambaran potret perang yang sangat menyedihkan. Amerika serikat melakukan intervensi saat Vietnam memerangi perancis yang hendak merebut Indochina.
Lalu setelah disana selama seminggu, dan sedikitnya beradaptasi dengan setir jalan sebelah kanan jalan dan jumlah pengguna sepeda motor yang jumlahnya sangat membludak, dipersimpangan jalan saya teringat dengan cover kaset band Favorit saya itu.
Gambar depannya adalah foto seorang Budhist yang melakukan pengorbanan dengan membakar dirinya sendiri karena aksi protes penganiayaan umat Buddha di Vietnam selatan ini.
Di tengah-tengah Perang inilah, Vietnam Selatan sedang mengalami periode intoleransi agama. Meskipun umat Buddha mencakup sekitar 80 persen dari populasi, Ngo Dinh Diem, Presiden Vietnam Selatan pada saat itu, adalah seorang Katolik yang telah dengan tegas menelanjangi kebebasan beragama umat Buddha.
Umat Budha tidak diizinkan untuk mengibarkan bendera agama mereka, dan secara terbuka kebebasan mereka didiskriminasi oleh umat Katolik. Meskipun umat katolik lebih sedikit jumlahnya, merekalah kebetulan yang saat itu memegang posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Sejumlah protes dilayangkan oleh kelompok besar umat Buddha pada musim semi tahun 1963, karena banyak ditemui kekerasan dan kematian baik dewasa dan anak-anak akibat ulah polisi dan pemerintah.
Akibatnya, pada 11 Juni 1963, seorang biarawan tua bernama Thich Quang Duc memutuskan melakukan ritual bunuh diri di tengah persimpangan di jalan kota Saigon. Dia duduk dalam posisi lotus ketika para biarawan lainnya diminta menuangkan bensin ke kepalanya. Setelah Duc mengucapkan doa Buddha, salah seorang rekan kerjanya menyalakan korek api dan menjatuhkannya ke pangkuannya, dan ia membakar dirinya sampai tak bernyawa.
Kerumunan yang telah berkumpul tertegun oleh tindakannya, dan pengorbanan nya berhasil di potret oleh beberapa wartawan dan fotografer Barat. Foto biarawan yang dibakar itu menjadi gambar yang tak terhapuskan pada era tahun 1960-an, dan kematiannya merupakan titik kritis bagi perjuangan toleransi beragama di Vietnam.
Sampai hari ini foto dari jepretan Malcolm Brown, Burning monk telah menjadi simbol universal pemberontakan dan perjuangan melawan ketidakadilan. Dan kematiannya telah jauh lebih dari itu. Itu adalah tindakan pembangkangan terhadap pemerintah yang korup dan tidak berperi kemanusian. Foto ini berhasil memicu revolusi, penggulingan rezim, dan bahkan mungkin menjadi alasan bahwa Amerika memasuki Perang Vietnam.
Buah pengorbanan Duc adalah reaksi berantai yang efeknya masih dirasakan hingga hari ini, saat kaki saya menginjakan langkah di Saigon 10 tahun lalu, semuanya dimulai oleh satu percikan api yang membakar semangat perubahan yang telah dinyalakan oleh aksi protes seorang biksu, dirinya melakukan pengorbanan agar dunia mengalihkan pandangan kepadanya, dan akhirnya.. dalam kepedihan jiwa dan raga nya, ia berhasil mencapai Nirwana dalam kemenangan. Kematian Thich Quang Duc tidak hanya merubah lebih dari satu kehidupan. pengorbananya telah mengubah seluruh dunia. 💖💖💖
Di tengah-tengah Perang inilah, Vietnam Selatan sedang mengalami periode intoleransi agama. Meskipun umat Buddha mencakup sekitar 80 persen dari populasi, Ngo Dinh Diem, Presiden Vietnam Selatan pada saat itu, adalah seorang Katolik yang telah dengan tegas menelanjangi kebebasan beragama umat Buddha.
Umat Budha tidak diizinkan untuk mengibarkan bendera agama mereka, dan secara terbuka kebebasan mereka didiskriminasi oleh umat Katolik. Meskipun umat katolik lebih sedikit jumlahnya, merekalah kebetulan yang saat itu memegang posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Sejumlah protes dilayangkan oleh kelompok besar umat Buddha pada musim semi tahun 1963, karena banyak ditemui kekerasan dan kematian baik dewasa dan anak-anak akibat ulah polisi dan pemerintah.
Akibatnya, pada 11 Juni 1963, seorang biarawan tua bernama Thich Quang Duc memutuskan melakukan ritual bunuh diri di tengah persimpangan di jalan kota Saigon. Dia duduk dalam posisi lotus ketika para biarawan lainnya diminta menuangkan bensin ke kepalanya. Setelah Duc mengucapkan doa Buddha, salah seorang rekan kerjanya menyalakan korek api dan menjatuhkannya ke pangkuannya, dan ia membakar dirinya sampai tak bernyawa.
Kerumunan yang telah berkumpul tertegun oleh tindakannya, dan pengorbanan nya berhasil di potret oleh beberapa wartawan dan fotografer Barat. Foto biarawan yang dibakar itu menjadi gambar yang tak terhapuskan pada era tahun 1960-an, dan kematiannya merupakan titik kritis bagi perjuangan toleransi beragama di Vietnam.
Sampai hari ini foto dari jepretan Malcolm Brown, Burning monk telah menjadi simbol universal pemberontakan dan perjuangan melawan ketidakadilan. Dan kematiannya telah jauh lebih dari itu. Itu adalah tindakan pembangkangan terhadap pemerintah yang korup dan tidak berperi kemanusian. Foto ini berhasil memicu revolusi, penggulingan rezim, dan bahkan mungkin menjadi alasan bahwa Amerika memasuki Perang Vietnam.
No comments:
Post a Comment