Saint austell yang berjarak katakan sajalah 12 ribu km dari Bandung, adalah sebuah kota kecil yang menjajakan keteraturan dari sebuah provinsi bernama Cornwall yang jika musim panas di serbu orang, provinsi ini tidak seperti kota lainya di Inggris, penduduk di keseluruhan provinsi ini yang luasnya mencapai 3500 km lebih, hanya ditinggali setidaknya 600 ribu orang kurang, itu jumlah nya sama dengan 1 kecamatan di Bandung yang luas teritori nya 21x lebih kecil namun penduduknya 5x lebih banyak dari provinsi Cornwall. Hidup diantara 2 kota yang mempunyai latar belakang berbeda membuat saya melongo hampir setiap hari, di area luas ini saya setiap hari harus menempuh kemanapun dengan berjalan kaki, transportasi di area ini mungkin bisa lebih diandalkan kalo penduduk setengahnya tidak mempunyai kendaraan sendiri. Kontur di area yang dulunya pernah menjadi tembok pertahanan terhadap serangan perancis atau bangsa viking sebelumnya, membuat semua kota selalu berada di titik paling tinggi karena disana pula dibangun tembok pertahanan yang artinya banyak jalan menanjak, menukik dan menurun. Sebuah mesin transportasi tentunya jawaban dari rasa lelah namun mengendarai mesin berkapasitas 50 cc dengan watt dibawah 4 pun perlu yang namanya sebuah kertas bernamakan sim yang sayangnya tidak bisa dibuat dengan jalan 'nembak' seperti di Bandung.
Berjarak 437 km dari London tentu saja saya bisa lihat kentara jika kota kecil ini kurang lively, disini ada 1 bioskop, beberapa toko baju ternama, banyak agent perumahan, salon, beberapa toko daging, swalayan, toserba, dan pub serta sedikitnya restoran. Orangnya lebih ramah dari orang-orang di London, namun sayang nya hampir tidak ada toko Asia. Semua orang yang ingin berdagang disini harus mengunjungi beberapa kantor untuk mendapatkan surat higienis level2 an dan kantor pajak tentunya. Di Bandung siapa saja bisa jadi wiraswasta tak perlu surat izin ini itu, mungkin petugas pajak akan datang karena ada kabar jika resto nya sudah banyak didatangi artis dan seleb tanah air atau sudah skala 500 orang pengunjung sehari.
Hari ini di Saint Austell saya kangen Jogjakarta sebuah kota yang berjarak kira2 413 km dari Bandung, kota yang penuh sentuhan masa keraton, pedagang Gudegnya di pasar masih ada yang memakai baju kebaya tradisional, samping dengan gelung dan konde, mungkin khas dari kota ini juga membawa Riri riza memutuskan mengambi syuting film AADC 2 yang katanya sebuah film yang sarat dengan hasil para seniman, mesti saya akui kemasan film drama cinta remaja membuat seni nya tanpa sadar menjadi sebuah background yang apik dalam flm ini, pemeran Rangga sendiri menurut saya tidak se cute dulu dengan muka blasteran dan peran yang introvert dan cool membuat Cinta yang menurut saya justru jadi lebih good looking, karena perawatan wajah dan tubuh selama bertahun-tahun tentunya haha. Jogjakarta sendiri terakhir saya kunjungi mulai ingin membuktikan pada pasar sosial media bahwa kota itu juga sudah ikut-ikutan trendi dengan jajaran kota-kota lainnya seperti Bandung ,Malang, Surabaya. Kalo Jakarta dan Bali sih tak usahlah ditanya lah. Banyak cafe-cafe dan tempat wisata baru yang menonjolkan suasana instagramable termasuk Punthuk Setumbu nya.
Mudah-mudahan sate klatak nya masih enak sampai hari ini, tengkleng atau gudeg dan krecek nya atau bakso klengernya, atau jajanan malioboro nya atau kopi arengnya, atau teh jawa nya, atau becak nya, atau pantai-pantai nya, atau candi-candi nya, atau batik-batiknya, keraton nya, bakphia nya, jalan Malioboro di malam hari, cafe di jalan Prawirotaman, pertujukan seni dan konser nya .... dan juga orang-orang yang pernah berbagi semua tawa denganku ....lalu rasa rindu itu mempunyai jarak dan ia berjarak 13 ribu km dari sini.... Saint Austell yang selalu senyap.... hatiku pun begitu.. semesta bawa aku lagi kesana suatu hari nanti...
Home »
aadc2
,
bakso klenger
,
Bandung
,
gudeg jogja
,
jogjakarta
,
pantai jogja
,
prosa
,
punthuk setumbu
,
sate klatak
» Dysphoria angka, Prosa kaleng dan Hymne kesenyapan
No comments:
Post a Comment